Kamis, 30 November 2017

Melatih Si Kecil Makan Sendiri

Day 1

Kamis, 30 November 2017




Yeaayy...

Setelah sebulan kemarin berkutat dengan materi komunikasi produktif, kali ini giliran melatih kemandirian yang menjadi fokus dalam kelas Bunda Sayang Batch#3 IIP. Hal ini membuat Mami bersyukur, karena jadwal materinya pas dengan rutinitas kami yang semakin padat sejak seminggu lalu Mami dan dan Papi mulai membuka gerai batagor dan siomay.

Sejak berusia satu tahun dan Mami menganggap Zee bukan lagi seorang bayi, sejak itu pulalah Mami mulai melatih kemandirian Zee. Minimal ia harus bisa mengurus dirinya sendiri, seperti makan dan minum sendiri. Minggu pertama, Mami sengaja fokus untuk melatihnya makan sendiri tanpa disuap lagi karena selama ini proses tersebut sudah dilatihkan ke Zee, namun kadangkala ia masih malas untuk makan sendiri dan lebih memilih untuk tidak makan.

Pagi ini, setelah mandi, Zee merengek minta nonton video learn number. Mami berusaha mengajaknya untuk makan terlebih dahulu, namun ia tetap kukuh pada pendiriannya, yaitu nonton. Akhirnya daripada ia menangis, Mami memilih berkompromi.

“Dedek nontonnya sambil makan ya,” tawar Mami. Meskipun kebiasaan seperti ini tidak bagus, namun adakalanya Mami tetap membiarkan Zee melakukan sesuatu yang fleksibel, asal ia memenuhi batasan waktu yang Mami tetapkan.

“Nggak mau. Dedek mau nonton aja.” Zee memang selalu tidak mudah dialihkan jika sudah meminta sesuatu. Tanpa menunggu persetujuan dan tawar menawar lagi, Mami langsung memberitahunya bahwa ia akan mendapatkan handphone yang ia minta asalkan mau makan.

“Mami ambilkan nasi dulu ya. Abis itu Mami kasih handphonenya,” tegas Mami. Zee masih setia merengek.

“Ini, Dek nasinya,” ucap Mami sambil menyerahkan sepiring nasi kepada Zee.

“Suap Mami,” pinta Zee.

“No. Dedek makan sendiri ya. Kan sudah besar. Mami masih harus masak,” kata Mami dengan merendahkan suara sambil mengusap punggung Zee. Ia bersiap merengek dan kembali menanyakan handphone.

“Dedek makan dulu satu sendok. Abis itu langsung nonton,” lanjut Mami. Zee tampak berpikir sejenak, namun akhirnya ia menyentuh piring dan menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

“Nah, gitu dong. Dedek kan sudah besar, harus pandai makan sendiri.” Mami memuji Zee. Penerapan komunikasi produktif dalam melatih kemandirian anak memang akan berpengaruh positif, semisal pujian yang bisa diberikan oleh orang tua ketika si anak berhasil melakukan suatu bentuk kemandirian.

“Ini kalau Dedek mau nonton. Tapi sambil dimakan nasinya ya,” kata Mami seraya menyerahkan handphone kepada Zee. Ia tersenyum senang. Walau bagaimanapun menepati janji adalah hal penting yang harus dicontohkan orang tua kepada anak-anaknya meskipun si anak seolah masih tidak mengerti.

Mami melanjutkan aktivitas di dapur, sementara Zee menonton video sambil makan di belakang. Sesekali Mami menengok dan memastikan bahwa ia benar-benar memakan sarapannya. Meskipun melatih kemandirian, namun dalam prosesnya ia tetap harus dibantu sesekali.

Zee memang memakan sarapannya, meskipun sesekali ia akan berteriak karena tidak dapat menyendok nasi yang tinggal sedikit dan Mami akan membantunya. Pagi ini Zee berhasil menyelesaikan tantangan 'makan sendiri', meskipun untuk etika makan masih harus diajarkan lagi, namun Mami tetap mengapresiasi kemauannya untuk diajak belajar mandiri. Terlebih setelah makan, saat Papi memberitahunya untuk mengantar piring kotornya sendiri ke tempat cuci piring, dengan ringan kaki ia langsung bergerak. Zee malah sempat ikut Papi mencuci sendoknya sendiri dan mengantarkan piring dan sendok yang sudah bersih untuk Mami susun ke dalam rak.

Semangat ya, Zee. Ini baru permulaan. Masih banyak tantangan yang harus kamu taklukkan agar siap menghadapi masa depan kelak jika kamu sudah dewasa.

Pancar Matahari Family

Senin, 27 November 2017

Cerita Zenitha Part 7

Kamis, 5 Oktober 2017



Jika ada yang bilang batita hanya bisa mengganggu pekerjaan orang tuanya, mungkin yang berkata seperti itu belum peka dan mengamati dengan teliti setiap aktivitas yang dilakukan oleh anaknya. Kadangkala, batita juga bisa melakukan kebaikan, misalnya dengan membantu pekerjaan yang tengah dilakukan oleh orang tua. Seperti yang dilakukan Zee pagi ini.

Setelah mami selesai dengan pekerjaan dapur pagi-pagi sekali, mami menunggu Zee bangun. Kebetulan pagi ini waktunya mengganti sprei. Mami berkata kepada Zee agar ia main dulu di luar kamar. Zee pun mengambil beberapa mainan, kemudian berlalu meninggalkan mami yang sibuk di dalam kamar.

“Dedek bantu.” Saat mami tengah memasang sprei baru, tiba-tiba Zee datang dan membantu mami menarik sprei yang belum sepenuhnya menutupi kasur. Dan semua itu dilakukan sambil tersenyum.

“Dedek bantu Mami? Anak pinter,” puji mami. Zee tersenyum sambil tepuk tangan.

Setelah urusan sprei selesai, mami mengajak Zee mandi. Bukan Zee namanya kalau tidak bisa berinisiatif mencari sumber permainan. Saat mandi sekalipun, ia menggunakan sikat gigi untuk pura-pura memancing.

“Dedek mancing kodok. Dedek main kuda nil.” Zee menyebutkan satu persatu mainan hewan-hewanan dari karet dengan sebelah tangannya memegang sikat gigi, memasukkannya ke dalam ember bulat berisi air.

Selesai mandi, permainan berganti. Ia sibuk dengan mainan masak-masakannya sambil membawa boneka. Didudukkannya boneka berwarna pink tepat di sebelahnya.

“Neka mau mamam?” Zee bertanya kepada boneka.

“Dedek suap neka.” Tangan kanannya menggerakkan sendok plastik berwarna kuning ke depan mulut boneka.

“Nyam, nyam, nyam. Sedapnye.” Mami tersenyum mendengar perkataan Zee. Selain menyanyi, pretend play memang saat ini menjadi permainan favoritnya.

Aktivitas hari ini diakhiri dengan bermain ayunan bersama papi, tepat saat papi baru pulang kerja. Zee melihat kucing di atas atap, menikmati angin sore, sambil melafalkan asmaul husna serta surat al fatihah. Ia memang sudah menghafal setiap ayat surat al fatihah, meskipun belum sempurna pelafalannya. Tidak masalah bagi mami maupun papi. Karena yang terpenting bagi kami, Zee mencintai Allah, menerima kebaikan-kebaikan dalam setiap ajaran agama dengan bersuka cita. Mempelajari syariat dan yang lain tentu saja ada waktunya nanti, setelah fitrah kecintaan terhadap Allah tumbuh dengan paripurna. Semoga kamu menjadi anak sholehah ya, Zee.

Pancar Matahari Family

Cerita Zenitha Part 6

Rabu, 4 Oktober 2017



Semasa Zee bayi, mami sudah membiasakannya untuk membaca buku. Dimulai sejak ia berusia sembilan bulan. Berbagai macam buku mami berikan, dan ia bisa membacanya kapanpun, tidak mengenal waktu. Kadang di tengah malam buta, saat mami dan papi sudah sangat mengantuk, ia bisa merengek minta dibacakan buku. Tetapi ternyata fase duduk diam sambil membaca buku itu berhenti saat usianya mendekati dua puluh bulan. Awalnya mami merasa sedih karena berpikir kecintaan Zee terhadap buku menghilang begitu saja. Namun lama kelamaan, saat mami mengamati perkembangan Zee, mami menyimpulkan, mungkin memang ada fase-fase di mana anak akan lebih menyukai aktivitas yang dinamis, dibanding statis.

Saat ini, Zee lebih suka bermain dengan berbagai macam jenis permainan. Dan kecintaannya akan buku masih tetap sama, hanya intensitas membaca hariannya saja yang jauh berkurang. Ia masih melihat buku dan membaca ala Zee dengan mata berbinar-binar.

Siang ini, saat mami tengah sibuk di dapur, Zee bermain dengan mainan alfabetnya. Bukan disusun, tetapi diserak kemana-mana. Di ruang tengah, di kamar, bahkan di dapur. Kemudian ia berlari-lari sambil sesekali menyanyi. Lalu tiba-tiba terdengar suaranya dari arah ruang tengah.

“Astaghfirullahalazim. Dedek jatuh.” Mami langsung setengah berlari dari arah dapur, dan mendapati Zee tertawa. Ah, rupanya ia tengah bermain. Mamipun tersenyum, dan belum membetulkan fungsi kalimat istighfar yang ia ucapkan. Biarlah nanti ada saatnya ia mendapatkan penjelasan. Yang terpenting sekarang ia mengenal Allah dulu.

Sore harinya begitu papi pulang, ia minta menggambar. Dan tidak tanggung-tanggung, tanpa takut, ia naik ke atas kursi, lalu dengan bersusah payah merangkak ke atas meja.

“Buat panda, Pi.” Zee merengek kepada papi. Dan papipun menuruti permintaan Zee. Dilanjutkan dengan membuat gambar awan, dan lain sebagainya.

Malam harinya, saat ia tengah menonton video di youtube, tiba-tiba langsung menghampiri papi yang tengah menggambar menggunakan laptop.

“Dedek mau ketik.” Sepertinya laptop memang selalu lebih menarik bagi Zee dibandingkan smartphone.

“Tunggu, biar Mami buka dulu ni.” Mami membuka microsoft word, dan mengatur huruf dengan ukuran besar serta berlainan warna.

“Sini, Dedek ketik sini.” Mami berkata kepada Zee. Dan dengan cepat, tangan kecilnya menari-nari tanpa beraturan di atas keyboard.

“Dek, ini warna apa?” tanya mami.

“Pink.” Dengan cepat Zee menjawab.

“No.” Mami menyahut. Karena memang yang dilihatnya bukan warna pink. Wajar saja jika ia masih salah dalam mengenali warna, dan mami tidak akan memaksanya untuk segera bisa.

“Red.” Setelah berpikir lama, akhirnya Zee bisa menyebutkan warna yang salah tadi.

“Ini warna blue. Ini yellow. Ini black.” Satu persatu warna ia sebutkan dengan benar.

“Pintar Dedek. Tepuk tangan.” Mami tersenyum dan bertepuk tangan. Betapa pujian adalah yang sangat penting bagi anak seusia Zee.

“Dedek nggak mau ketik lagi, Mi. Dedek mau gambar.” Zee memang gampang bosan dengan satu aktivitas saja.

“Ya udah, sama papi aja.” Mami berkata. Akhirnya papi membuka corel draw.

“Sini, Dedek gambar balon.” Kata papi.

“Ini apa namanya?” Zee bertanya sambil menunjuk layar.

“Corel.” Jawab mami.

“Kolek.” Sambil meringis ia menirukan ucapan mami.

“Kolek.” Diulanginya lagi. Sontak mami dan papi tertawa.

“Bukan kolek. Corel.” Mami membetulkan.

“Kolel.” Zee mengikuti sambil melihat gerakan bibir mami.

“Pintar.” Kata mami.

Aktivitas Zee malam ini berakhir hingga pukul dua belas. Mami dan papi bersyukur karena Zee tertarik dengan banyak hal. Dan kehadiran teknologi menurut kami tidak harus dihindari dengan ekstrim. Asalkan penggunaannya tepat dan memberikan manfaat positif, tidak ada salahnya dijadikan sebagai alat dan media pembelajaran. Seperti yang Zee lakukan, ia belajar tentang sopan santun dan adab terhadap orang yang lebih tua, harus menghabiskan makanan agar tidak mubazir, menyayangi teman, itu semua lewat video animasi Omar dan Hana yang ia tonton lewat youtube. Dunia yang terus berubah tidak bisa kita hindari. Yang harus kita lakukan adalah ikut bergerak dinamis agar tidak tergerus zaman. Happy learning and exploring, Zee.

Pancar Matahari Family

Cerita Zenitha Part 5

Selasa, 3 Oktober 2017



Hari ini merupakan hari spesial bagi kami. Setelah melewatkan momen ulang tahun Zee yang kedua tanggal 28 September kemarin, hari ini kami melakukan sesuatu sebagai rasa syukur kami atas bertambahnya usia Zee. Pagi-pagi mami sibuk di dapur, memasak nasi kuning dan teman-temannya. Bukan untuk sebuah perayaan, tetapi untuk kami makan sekeluarga. Zee bermain di belakang menunggu mami selesai masak. Mulai dari bermain lilin bersama papi, hingga main doh dan crayon.

Pukul 09.30, mami selesai masak. Kamipun makan bersama setelah sebelumnya berdoa kepada Allah, memohon semua kebaikan untuk Zee.

“Makan, Dek.” Papi mengajak Zee yang sibuk dengan mainannya untuk makan. Ia menggeleng.

“Zee, lihat nih nasi mami. Warna apa nasinya?” Mami memancing rasa ingin tahu Zee. Dan betul saja, ia langsung menoleh, melihat nasi dalam piring mami.

“Yellow. Nasi yellow.” Zee berkata nyaring. Mami tertawa.

“Namanya nasi kuning. Bukan nasi yellow.” Mami membetulkan. Sepertinya Zee memang suka berbicara dengan kosakata campuran seperti itu.

Setelah makan, Zee kembali bermain. Papi pun pergi ke kantor. Dan seperti biasa, kamar adalah ruangan favoritnya untuk membongkar semua mainannya dan membuatnya berserakan.

“Ibu pergi dulu ya, Bu.” Kata Zee sambil memasukkan mainan ke dalam tas plastik kecil. Ia memang paling suka aktivitas pretend play, dan menyebut dirinya 'ibu'. Udah merasa ibu-ibu kali ya. Setelah selesai memasukkan mainan ke dalam tas, ia melenggang keluar kamar sambil menenteng tas di tangan.

“Udah. Dedeknya udah pergi.” Zee kembali masuk ke dalam kamar. 

“Mau main apa lagi?” Mami bertanya. Zee mengambil kotak obat dari mainan dokter-dokteran. Lalu tanpa mami duga, ia juga mengambil kerincingan berbentuk ikan, mainannya waktu masih bayi.

“Dedek nyanyi ya, Mi.” Zee berteriak. Dan belum sempat mami menjawab, ia sudah berlari keliling-keliling kamar, naik turun kasur, sambil berdendang.

“Twinkle twinkle little star, how i wonder what you are.” Dengan pelafalan yang belum terlalu jelas, Zee menyanyikan lagu Twinkle Twinkle sambil memainkan kerincingan dan bergerak ke sana kemari. Mami hanya mengamati sambil sesekali ikut bernyanyi dan bertepuk tangan.

Puas bernyanyi, ia pun lanjut bermain doh. Dicetaknya bentuk kupu-kupu, bebek, gajah, dan orang-orangan (ia sebut superman), lalu dimasukkan ke dalam kotak doh.

“Dedek masak, Mi.” Dengan cekatan tangannya memotong-motong aneka bentuk yang sudah dicetak, lalu dimasukkan kembali ke dalam kotak doh.

“Dedek kasih saos, Mi.” Sambil pura-pura menuang sesuatu dari botol shampo yang sudah kosong.

“Suap Mami.” Akhirnya ia pun menyendok potongan doh dan pura-pura menyuapkannya ke mulut mami.

Aksi main berlangsung sampai makan siang, dan masih berlanjut setelahnya. Pukul tiga sore ia baru tidur, dan bangun sekitar pukul empat lewat lima belas menit. Setelah itu, Zee melihat mami, papi, dan baba Kaka (panggilan untuk abang sepupunya) membagikan kue kepada teman-teman main baba. Sore ini aktivitas Zee ditutup dengan mandi pada pukul 17.30, tentunya setelah melewati aksi drama seperti biasa. Entah mengapa semenjak umur satu setengah tahun, Zee sangat susah untuk diajak mandi. Padahal waktu bayi, ia justru paling semangat untuk mandi.

Setelah salat magrib, seperti biasa, papi mengajar Zee mengaji.

“Dedek ngaji surat apa?” Tanya papi. Zee membuka-buka juz amma.

Sesuatu yang membuat mami dan papi takjub adalah, setelah usianya melewati satu setengah tahun, Zee bisa menghafal letak setiap surat dalam juz amma-nya. Padahal jelas-jelas ia belum bisa membaca. Mungkin itulah yang disebut membaca dengan otak kanan, menghafal berdasarkan bentuk atau gambar. Entahlah, tapi kenyataannya Zee bisa langsung menunjuk dan mencari sendiri setiap surat yang ingin dibacakan. Ia juga sudah menghafal satu hingga tiga ayat masing-masing surat dalam juz amma. Khusus al fatihah, ia hafal keseluruhan ayat meskipun belum terlalu jelas pelafalannya.

Mengamati tumbuh kembang Zee, membuat mami dan papi takjub akan keajaiban-keajaiban kecil yang sering terjadi tiba-tiba dalam dirinya. Sejak bayi, pola perkembangannya memang sedikit berbeda dengan anak-anak normal seusianya. Dan jika dilihat secara awam, mungkin ia akan tampak seperti anak nakal, bandel, lasak, tidak mau tidur, cerewet, dan lain sebagainya. Tetapi sebagai orang tua, kami percaya bahwa itulah anugerah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dan kami harus terus mengamati dengan detail setiap aktivitas yang ia lakukan agar nantinya bisa membantunya terus berkembang, bahkan saat lingkungan di luar rumah kurang menerimanya sekalipun. Karena kami tidak pernah tahu akan jadi seperti apa Zee kalau sudah besar nantinya, maka sebagai orang tua, kami harus selalu mempersiapkan diri, menyediakan pelukan terhangat, untuk tempatnya pulang setiap saat.

Pancar Matahari Family

Cerita Zenitha Part 4

Senin, 2 Oktober 2017



Hari ini Zee belajar warna dengan menggunakan crayon. Biasanya ia memakai spidol dan pensil warna. Sepertinya, dari sekian aktivitas yang ia lakukan setiap hari, art adalah sesuatu yang tidak terpisahkan darinya.

“Ha, black.” Zee berkata sambil memegang crayon warna hitam.

“Papi bilang black.” Sambil tersenyum ia mendatangi papinya.

“Be...lek.” Zee langsung tertawa begitu papi menyebut kata black dengan pengucapan yang dibuat lucu.

“Ini lagi brown.” Tangannya kembali meraih crayon dari dalam kotaknya. Dicoret-coretkannya crayon tersebut di atas buku gambar milik abang sepupunya.

“Ini warna apa, Pi?” Saat memegang crayon warna putih, ia bertanya kepada papi. Zee memang jarang mendengar tentang warna putih. Biasanya saat menonton video learn colors di youtube, warna-warna yang diperkenalkan adalah warna-warna cerah seperti merah, biru, hijau, dan  sebagainya.

“Warna putih. White.” Jawab papi.

“Hah, tak nampak. Mana? Mana?” Zee kebingungan saat mencoretkan crayon warna putih di atas buku gambar berwarna sama.

“Kalau warna putih, nggak kelihatan, Dek. Sini, buat di atas sini.” Papi menjelaskan sambil mengajak Zee mencoret sebuah gambar berwarna hitam.

“Ini yellow.”

“Ini green.”

“Ini blue.” Zee melafalkan setiap kata dalam bahasa Inggris dengan jelas. Tetapi saat mengucapkan kata blue, pasti akan selalu membuat mami dan papi tertawa. Bagaimana tidak, mengucapkan kata blue, seperti orang yang sedang berkata 'bulu' dengan lambat pula. Biasanya mami akan bercanda dengan berkata 'emang ulat bulu?' yang akan membuat Zee tertawa.

“Susun lagi, susun lagi.” Setelah puas bermain crayon, Zee mengeluarkan semua crayon dari dalam kotak. Setelah itu ia kembali menyusunnya satu persatu ke dalam kotak.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi energi si bocah ini seolah tak pernah habis. Setelah mami menggantikan bajunya dengan yang lebih nyaman buat tidur, tiba-tiba iapun beraksi.

“Kalau kau suka hati tepuk tangan.” Zee berjalan memutar sambil bertepuk tangan.

“Kalau kau suka hati bilang hore. Hooree.” Ia menggerakkan tangannya ke atas.

“Kalau kau suka hati mari kita bersama. Kalau kau suka hati injak bumi.” Dan iapun melompat sambil tertawa riang.

“Tepuk tangan. Tepuk tangan.” Zee mengajak mami dan papi untuk tepuk tangan.

Ah, sepertinya Zee dan bernyanyi memang tidak bisa dipisahkan. Hampir setiap hari ia selalu mendendangkan berbagai macam lagu. Yang menjadi favoritnya adalah lagu-lagu yang ada video animasi seperti Omar Hana, Alif Sofia, Kastari Animation, dan lagu-lagu anak Indonesia. Zee juga suka lagu-lagu berbahasa Inggris, Arab, dan Perancis, yang kesemuanya adalah lagu tentang kalimat syahadat, basmallah, dan hamdalah.

Hari ini Zee belajar banyak hal. Mulai dari art, literature and language, serta natural science. Tetapi dari semua itu, art adalah hal yang paling senang ia lakukan. Apapun itu, teruslah tumbuh, berkembang, dan jangan pernah berhenti untuk belajar, Nak.
Pancar Matahari Family

Cerita Zenitha Part 3

Minggu, 1 Oktober 2017


Minggu adalah hari spesial bagi Zee, karena ia dapat bermain dan belajar bersama papi sepuasnya. Dalam kesepakatan yang telah kami buat, baik mami maupun papi memang diharuskan mendampingi Zee dalam keseharian, dengan kemampuan dan kesukaan masing-masing.

Seperti Minggu sore ini, Zee yang telah bosan bermain doh, memilih untuk ikut menggambar saat melihat papi berkutat dengan kertas dan pensil. Dengan cekatan ia naik ke atas kursi, tepat di depan papi. Tangan mungilnya memegang pensil tanpa kesulitan, meskipun mami maupun papi hanya mengajari cara memegang pensil sekilas saja, tapi sejak usianya satu tahun lebih beberapa bulan, ia sudah mahir memegang pensil.

“Dedek buat apa?” Mami bertanya.

“Dinosaurus.” Zee menjawab cepat.

“Komodo namanya, Dek. Dinosaurus itu nggak ada.” Mami membetulkan. Ia memang sering melihat gambar dinosaurus di buku yang ia baca saat berkunjung di perpustakaan. Ia juga melihat patung hewan-hewan tersebut di Transmart. Tetapi mami selalu menanamkan konsep bahwa dinosaurus itu tidak ada, yang ada komodo.

“Pi, buat bebek.” Ia berteriak mengganggu papi yang tengah menggambar.

“Panda lagi.” Zee memang paling hobi berpindah-pindah keinginan seperti itu.
Papi menggambarkan bebek dan panda buat Zee. Ia pun tertawa.

“Lihat, Mi! Lihat!” Ia menunjukkannya kepada mami.

“Buat lagi dinosaurus gendut.” Mami tertawa. Entah mengapa di usianya yang  sekecil ini Zee sudah paham konsep perbandingan ukuran. Ia suka minta dibuatkan gambar hewan yang ukurannya besar, biasanya sering disebut gendut sama Zee. Kadang ia minta dibuatkan gambar hewan yang kecil atau kurus disebutnya.

“Zee, mandi lagi kita.” Mami mengajak Zee mandi. Seperti biasa ia akan melakukan drama panjang untuk menghindari mandi. Setelah beberapa kali membujuk, akhirnya ia mau mandi juga.

Hari ini Zee belajar banyak hal. Meskipun rencananya minggu sore ini ia akan berenang, tetapi terpaksa batal karena cuaca mendung, ia tetap belajar dari hal lain. Mulai dari pagi hari bermain doh dan asyik mencetak bentuk gajah, bebek, kupu-kupu, serta bentuk orang-orangan yang disebut oleh Zee dengan istilah superman, secara tidak langsung ia mempelajari materi natural science. Math/reasoning juga ia pelajari saat mencetak bentuk hewan lebih dari satu. Ia juga belajar art pada saat membedakan warna doh yang dimainkannya, yaitu pink dan hijau. Pretend play  serta musik adalah dua hal yang tidak pernah ia lewatkan setiap hari. Dengan semangat Zee menggunakan tempat nasi berbahan plastik sebagai pengganti topi. Ia menyebutnya topi bundar. Setelah beberapa kali mengenakan topi bundar di kepalanya sendiri, ia memakaikannya kepada bonekanya. Tentu saja sambil bernyanyi lagu Topi Bundar serta bergerak-gerak seperti tengah menari. Begitulah Zee, harinya tidak pernah dilewatkannya tanpa banyak gerak. Meskipun kadang capek dan kesal karena harus mengimbanginya, tetapi sebagai orang tua kami harus selalu bersyukur dengan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada kami.

Enjoy your day with play more and more, Zee.

Pancar Matahari Family

Rabu, 22 November 2017

Sebentuk Rasa Hati



Sebulan sudah kelas Bunda Sayang Batch #3 IIP berlangsung. Komunikasi produktif merupakan materi pertama yang peserta kelas dapatkan. Mulai dari mencerna materi, cemilan, serta mengerjakan tantangan level 1 yang diberikan oleh tim pusat IIP, memerlukan kesungguhan. Konsistensi dan kemauan untuk berubah menjadi individu, istri, serta ibu yang jauh lebih baik merupakan syarat dan modal utama. Tidak mudah saat peserta kelas harus menerapkan materi yang didapat selama minimal sepuluh hari berturut-turut. Apalagi saat harus mengikat hasil penerapan ke dalam sebuah tulisan, tentu memerlukan usaha lebih. Tidak sedikit rintangan yang menghadang. Rasa malas, ketidaksabaran, emosi yang fluktuatif, seringkali menghampiri. Namun saat tekad lebih kuat, semua halangan itu bisa dihindarkan.

Setelah menerapkan komunikasi produktif selama tujuh belas hari berturut-turut, dan tetap menerapkannya hingga saat ini meskipun masa tantangan sudah berakhir, efeknya sungguh di luar dugaan. Jika biasanya rumah selalu diwarnai dengan pekikan, teriakan, suara rengekan, serta tangisan Zee, kini menurun drastis. Mami yang kadangkala terpaksa bersuara dengan nada tinggi, sekarang mengubahnya dengan cara dan trik lain. Mencoba menjelaskan suatu informasi, perintah, serta hal-hal yang ingin diketahui Zee secara sederhana. Mami hanya berharap ia mengerti, meskipun di usianya yang baru dua tahun tentu saja membuatnya belum sepenuhnya mampu memahami kalimat yang terucap dari mulut Mami. Mencoba mengerti bahwa tumbuh kembang anak seusia Zee memang sedang dalam fase eksplorasi, maka ketika tidak sengaja ia melakukan sesuatu yang kurang semestinya dan menyulut emosi Mami, sejak menerapkan komunikasi produktif, Mami lebih memilih menghirup udara banyak-banyak, jeda sejenak, sebelum akhirnya menasihatinya dengan ramah sambil menunjukkan rasa sayang melalui bahasa tubuh.

Menerapkan komunikasi produktif di dalam kehidupan kami, membuat rasa bahagia yang kami rasakan semakin tak terkira. Zee jadi lebih bebas mengekspresikan diri, Mami tidak perlu cemas dan takut diserang rasa bersalah ketika harus memarahi Zee. Yang jelas, dengan berkomunikasi secara produktif, membuat kehidupan kami menjadi lebih baik.

Terima kasih Mbak Amma, fasilitator kelas Bunda Sayang Batch#3 Sumatera 1, atas kesediaannya mendampingi kami selama sebulan di kelas, menjawab rasa ingin tahu kami dan segala kegundahan yang kami rasakan. Terima kasih segenap pengurus kelas atas jerih payahnya mendampingi kami selama sebulan ini. Terima kasih Institut Ibu Profesional atas kesempatannya untuk mengikuti kelas Bunda Sayang Batch#3.

Pancar Matahari Family

Selasa, 21 November 2017

Outstanding Performance Badge



Setelah tujuh belas hari berturut-turut menerapkan komunikasi produktif di rumah serta mengikatnya dalam bentuk tulisan, terbayar juga segala lelah. Meskipun tujuan utama mengikuti tantangan level satu ini adalah untuk memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga, namun apresiasi yang diberikan oleh tim Bunda Sayang sungguh membuat semangat saya kembali berkobar.

Terima kasih Institut Ibu Profesional atas kesempatannya untuk mengikuti kelas Bunda Sayang Batch#3 ini.

Pancar Matahari Family

Sabtu, 18 November 2017

Dedek Makan Sendiri



Day 17

Sabtu, 18 November 2017

Hari terakhir tantangan materi pertama kuliah Bunda Sayang Batch#3 IIP, Komunikasi Produktif, Mami kembali mengangkat tema makan. Meskipun kemarin materi ini sudah dicoba dan sedikit berhasil, namun karena pagi tadi Zee meminta untuk makan sendiri tanpa disuap, maka Mami sekalian saja kembali mencoba menerapkan komunikasi produktif dengannya.

“Dedek makan sendiri, Mi,” ucap Zee saat Mami tengah membuat telur mata sapi.

“Iya sebentar ya, Mami buatkan dulu nasi goreng. Dedek tunggu di situ ya,” jawab Mami sambil menunjuk lantai dekat pintu belakang. Zee mengangguk dan menurut. Ia sibuk duduk di lantai sambil memainkan kartu Abang sepupunya.

“Nih, Dedek makan dulu. Duduk yang bagus, Nak,” kata Mami sambil memberikan piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi yang sudah Mami potong kecil-kecil. Awalnya Zee hendak protes karena Mami menyuruh duduk. Namun Mami kembali memberinya pengertian.

“Dek, kemarin kan Mami udah bilang sama Dedek, kalau kita lagi makan itu harus duduk. Sekarang Dedek duduk yang bagus ya,” ulang Mami sambil mengusap punggung Zee dan duduk terlebih dahulu di lantai. Zee memandang Mami lama, namun akhirnya mengikuti perkataan Mami.

“Baca doa dulu sebelum makan ya, Dek. Gimana doanya?” Mami mengingatkan Zee untuk berdoa. Zee bersemangat membuka mulut dan melafalkan doa sebelum makan dengan lancar.

Setelah itu ia langsung memegang sendok dan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. Mami tersenyum senang melihatnya. Zee makan dengan baik selama empat suapan.

“Tambah, Mi,” pinta Zee begitu nasi yang di piring tinggal sedikit. Ia memegang sendok berisi nasi dan memberikan piring kepada Mami. Dengan cepat Mami memgambilkan nasi dan berbalik menghadap si bocah.

Tahukah apa yang terjadi? Nasi berserakan di lantai. Zee tertawa girang. Selama ini, dilema yang Mami alami memang seperti ini. Ingin membiarkan Zee mandiri dan makan sendiri, namun takut ia mengotori meja, kursi, maupun lantai. Kalau di rumah hanya ada Mami dan Papi, mungkin hal tersebut tidak akan menjadi masalah besar. Namun anggota keluarga lain merasa keberatan dengan perbuatan Zee yang sebenarnya manusiawi karena ia sedang melalui proses pembelajaran mandiri. Ada sebuah cara untuk menyiasati, seperti misalnya menggunakan tikar sebagai alas saat ia makan sendiri. Hal itu sudah kami coba beberapa kali dan tidak efektif, karena pada dasarnya ia sangat senang bereksplorasi. Ia tidak akan diam di atas tikar. Ia akan berlari sambil makan kemudian sengaja membuat makanan berserak di lantai yang tanpa alas. Berkaca pada kejadian tersebut, satu-satunya hal yang bisa Mami lakukan adalah menggunakan komunikasi produktif untuk menjelaskan cara makan yang benar kepada Zee.

“Zee, kalau makan itu langsung disuapkan ke dalam mulut ya nasinya. Bukan diserak ke lantai. Seperti ini nih.” Mami menunjukkan kepada Zee bagaimana cara menyendok nasi dan menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan benar.

“Dedek coba ya,” ujar Mami. Zee mengambil sendok dari tangan Mami dan memulai sesi makan sendiri. Beberapa saat Mami bernapas lega karena Zee tidak berulah. Hingga akhirnya Zee kembali menguji kesabaran Mami.

“Dedek nggak mau pakai sendok,” kata Zee sembari melempar sendok ke lantai. Hampir saja Mami mengomel, namun batal, dan memilih mengambil napas dalam-dalam sebelum menasihati Zee dengan lembut.

“Dedek mau makan pakai tangan? Ya udah, boleh. Tapi makannya baik-baik ya. Yang betul. Nasinya disuapkan ke mulut, bukan diserak ke lantai. Oke?” Bening manik matanya memandang Mami tanpa rasa bersalah. Lalu dalam sekejap, ia melancarkan aksi jahilnya. Kedua tangannya bergerak mengambil nasi di dalam piring dan menghamburkannya begitu saja. Lantai di sekitar kami otomatis menjadi kotor. Mami menghela napas untuk menurunkan emosi.

“Dedek, kan tadi Mami bilang, kalau nasi tidak boleh diserak. Dedek udah kenyang? Tidak mau makan lagi?” tanya Mami. Zee diam tidak menjawab.

“Kalau udah kenyang, minum air putihnya,” lanjut Mami sambil menyodorkan botol berisi air putih ke arah Zee. Awalnya ia menolak, namun akhirnya dilakukannya juga permintaan Mami.

“Dedek tunggu ya. Duduk bagus. Biar Mami bersihkan nasi di lantai ini. Oke?” Zee mengangguk mendengar perkataan Mami. Untung saja kali ini ia tidak mengganggu apa yang sedang Mami lakukan.

“Dedek ingat yang Mami bilang ya. Besok lagi, kalau makan itu tidak boleh main-main dengan nasinya ya. Itu tidak bagus,” ucap Mami. Zee memandangi Mami.

“Kalau kita makannya bagus-bagus, nanti Allah sayang,” lanjut Mami.

“Nanti Allah sayang,” kata Zee mengulang perkataan Mami.

Momen makan pagi hari ini kami akhiri dengan pelukan hangat. Meskipun Mami tahu Zee belum sepenuhnya mengerti setiap kalimat yang terucap dari mulut Mami, namun dengan membiasakan penggunaan komunikasi produktif yang hari ini masih belum sepenuhnya berhasil, Mami yakin memberikan efek positif. Jika sudah besar nanti, Mami yakin Zee pasti mengingat setiap perkataan Mami.

Sesi tantangan di bulan pertama ini sudah selesai. Namun ke depannya kami tidak boleh meninggalkan komunikasi produktif, karena dengan menerapkannya banyak memberikan dampak positif buat kami.

Sampai jumpa di tantangan materi berikutnya bersama Zee, Mami, dan Papi.

Pancar Matahari Family

Jumat, 17 November 2017

Balada Makan Pagi



Day 16

Jumat, 17 November 2017

Hari ini, Mami kembali menuliskan tentang makan pagi alias sarapan. Mengapa begitu? Karena hingga saat ini, penerapan komunikasi produktif untuk masalah ini belum sepenuhnya berhasil.

Begitu bangun dari tidur, Zee langsung ikut Papi mengantar Abang sepupunya. Ia memang suka sekali dibawa naik motor meskipun tidak jauh. Pulangnya, ia minta handphone untuk menonton video. Mami yang saat itu baru selesai mandi dan dandan ala kadarnya, langsung mengingatkan Zee.

“Zee, mandi dulu. Abis itu baru nonton,” ucap Mami.

“Nonton, Dedek mau nonton. Mau susu. Susu strawberry. Susu mau, Mi. Sambil nonton,” rengek Zee. Mami sudah bersiap menegakkan aturan di rumah, namun melihat muka si kecil aktif itu memerah bersiap menangis lebih keras, maka urung Mami lakukan.

“Ya udah, kalau nggak mau mandi, Dedek makan dulu ya,” ucap Mami lagi.

“Susu. Dedek mau susu aja,” ulang Zee, kembali menekankan keinginannya. Baiklah, Mami yang harus mengalah. Membawa si bocah ke ruang samping, lalu mengambilkan sekotak susu UHT.

Sembari matanya menonton layar handphone, Zee memegang susu dan berdiri tegak. Mami yang melihatnya langsung mengingatkan.

“Dek, kalau minum susu itu duduk ya.” Mami sengaja merendahkan suara, menghindari kenaikan emosi. Bukannya menuruti perkataan Mami, Zee justru berjalan ke arah sepeda sambil menyedot susu.

“Dedek naik sepeda, Mi. Pakai sepatu.” Ia sibuk mengambil sepatu dengan tangan kiri lalu membawanya ke dekat sepeda.

“Mami pasangkan sepatu Dedek,” pinta Zee. Mami menggeleng.

“No. Dedek habiskan dulu susunya. Duduk sini,” kata Mami tegas namun tetap menjaga nada suara agar tidak meninggi.

“Zee, dengarkan Mami, Nak. Kalau Dedek sedang minum itu harus duduk.” Karena Zee mengacuhkan Mami, maka kalimat bernada tegas kembali keluar dari mulut Mami.

“Duduk sini dulu Dedek ya. Mami ambil nasi, kita sarapan.” Berharap Zee mau menurut, Mami kembali mencoba peruntungan.

“Lho, kok Dedek masih berdiri? Kan Mami bilang duduk.” Mami kembali mendekati Zee yanh asyik berdiri sambil menari, mengikuti gerakan dalam video yang ditontonnya. Sedotan di dalam susu masih terselip di mulutnya.

“Sini Mami suap. Duduk.” Entah yang keberapa kali, Mami kembali berujar. Zee memandang Mami. Lalu pelan-pelan tubuhnya ditekuk hingga ke posisi duduk. Mami tersenyum.

“Nah gitu dong. Dedek kan pintar, tahu kalau makan itu harus duduk. Iya kan?” Mami memuji Zee. Ia memamerkan senyum manisnya. Satu suap nasi berhasil masuk ke dalam mulut mungilnya.

“Eh, Dedek mau ke mana? Tapi kita kan makan? Kalau makan harus duduk tadi Mami bilang.” Melihat Zee kembali berdiri setelah menerima suapan nasi, Mami bertanya. Ynag ditanya langsung kabur berlari kesana kemari tanpa repot-repot menjawab.

“Makan lagi, Mi,” ucap Zee. Mami kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut Zee. Ia kembali bangkit dari duduk. Mami mengingatkan tentang keharusan duduk kalau sednag makan.

Berkali-kali mencoba, namun sepertinya hari ini masih belum sepenuhnya berhasil. Zee hanya sebentar saja mengikuti aturan yang Mami berikan, lantas kembali bermain sesuka hatinya. Sepertinya harus mencoba ekstra keras lagi. Karena kalau Mami perhatikan, permasalahan bukan terletak pada ketidakmampuan Zee mencerna aturan yang Mami jabarkan. Ia mengerti, namun masih belum mau menuruti ucapan Mami. Semoga semakin besar nanti ia lebih mudah melakukan setiap kebaikan.

Be positive! Besok kita belajar lagi ya, Zee.

Pancar Matahari Family

Kamis, 16 November 2017

Zee's Creation



Day 15

Kamis, 16 November 2017

Seperti biasa, pagi ini Zee susah diajak mandi. Hampir satu jam Mami membujuk hingga akhirnya ia mau beranjak masuk ke dalam kamar mandi, dengan janji setelah mandi Mami akan menemaninya bermain crayon. Selesai mandi, belum sempat Mami memakaikan baju, ia sudah merengek, menagih janjinya untuk bermain crayon.

“Mami ambilkan buku Dedek. Sama crayon,” ucap Zee. Sambil sedikit membujuknya untuk bersabar, Mami menyelesaikan urusan memakaikan baju dengan cepat.

“Nih. Buku gambar Dedek sama crayon. Gambarnya di sini ya,” tunjuk Mami dengan jari telunjuk mengarah ke buku gambar.

Jika sedang bermain crayon, Zee tidak bisa ditinggal sendirian. Meskipun sudah disediakan tempat khusus untuk menggambar, tetap saja ia akan lebih senang memilih dinding, lantai, maupun sprei untuk dicoret. Sebenarnya hal ini wajar bagi anak seusianya, namun karena kami masih menumpang di rumah Kakek dan Neneknya yang kurang menyukai dinding penuh coretan, maka sebisa mungkin Mami selalu mengawasi Zee ketika sedang asyik dengan crayon.

“Mi, Dedek gambar ular. Ni komodo. Dinosaurus.” Celoteh si bocah sambil membuat coretan berwarna-warni. Bukan bentuk yang ia gambar, namun garis-garis lurus panjang, yang ia sebut ular, juga arsiran kecil-kecil yang menurutnya adalah komodo dan dinosaurus.

“Dedek sudah pintar gambar ya. Tepuk tangan!” seru Mami begitu Zee memamerkan hasil karyanya di depan Mami. Mendengar pujian dari Mami, ia tersenyum lebar, lalu kembali meneruskan kreasinya.

“Mi, Dedek coret sini ya? Ya?” Zee menoleh sebentar ke arah Mami sambil mencoretkan crayon ke atas sprei. Karena sudah berkali-kali ia menguji Mami dengan kelakuan jahilnya itu, serta Mami harus konsisten menerapkan komunikasi produktif, maka penggunaan kalimat 'jangan coret di situ' tidak lagi Mami gunakan untuk mengingatkan Zee.

“Dek, kalau gambar itu di buku gambar ya. Atau di papan tulis itu,” tunjuk Mami ke arah papan tulis yang tergantung di dinding kamar.

“Dedek sini aja gambar,” lanjut Zee dengan tangan terangkat, lalu perlahan turun hendak kembali mencoret sprei. Emosi Mami terpancing. Namun sekali lagi, Mami mencoba bersabar.

“Ini buku gambar Dedek kan masih kosong, jadi gambarnya di sini aja. Oke?” Mami membujuk perlahan. Zee menatap Mami cukup lama.

“Dedek mau digambarkan apa?” Jika tidak dialihkan segera, ia pasti akan tantrum dan tetap melakukan kemauannya untuk mencoret sembarang tempat.

“Panda Mami buatkan,” kata Zee.

“Oke, sini bukunya, biar Mami buatkan Panda.” Mami berkata sambil tersenyum. Zee mengangsurkan buku gambar bersampul merah muda ke hadapan Mami.

“Nanti lagi Dedek kalau mau gambar di buku ini ya. Kayak Mami nih,” ucap Mami.

“Iya,” jawab Zee cepat.

Kami melakukan aktivitas menggambar serta mencoret-coret buku hampir dua jam. Dan tak sekalipun Zee mencoret dinding maupun lantai. Sprei yang sebelumnya ia coret, tidak lagi terkena warna-warni crayon. 

Meskipun harus berkali-kali menjelaskan dan tidak selalu berhasil, serta tetap mendampingi aktivitas menggambarnya, penerapan komunikasi produktif cukup membantu kami. Mami belajar bersabar dan menghilangkan penggunaan kalimat negatif, sedangkan Zee belajar menangkap penjelasan Mami tentang sesuatu yang boleh ataupun tidak boleh dilakukan tanpa melibatkan emosi yang berujung tantrum.

Semangat ya, Zee. Mami yakin semakin besar nanti Zee akan lebih mudah mengerti makna dari setiap perkataan Mami.

Pancar Matahari Family

Rabu, 15 November 2017

Screen Time



Day 14

Rabu, 15 November 2017

Pagi-pagi sekali hari ini Zee terbangun. Sambil menunggu Mami salat subuh, ia bermain bersama Papi. Selepas itu, ternyata Zee mau tidur lagi. Mami mencoba mengajaknya keluar kamar, namun ia tidak mau dan merengek minta tidur lagi. Karena semalam si bocah tidur larut, akhirnya Mami membiarkannya kembali tidur.

Saat Zee tidur, Mami berkutat dengan urusan domestik. Pukul delapan lewat tiga puluh menit, Zee bangun. Mau Mami ajak mandi langsung, ia tidak mau. Dan setelah mengamati ekspresinya, Mami menyimpulkan sepertinya Zee mau buang air besar. Karena setiap malam hari Zee masih memakai diapers, Mami memberikan waktu kepada Zee untuk buang air besar dulu, sementara Mami memasak menu makan siang. Satu jam lebih Mami memasak sekaligus mencuci piring. Setelah itu, Mami membujuk Zee untuk langsung mandi. Ada sedikit drama, namun dengan lembut Mami terus membujuk, hingga akhirnya ia menurut tanpa merengek.

“Mi, Dedek mau nonton,” ucap Zee saat Mami sedang membalurkan minyak telon di sekujur tubuhnya.

“Oke. Tapi sekarang pakai baju dulu ya. Setelah itu nonton,” putus Mami dengan suara tegas. Zee menurut, meskipun sesekali ia bergerak ke sana kemari saat Mami tengah memakaikan baju.

“Dedek nyalakan tv ya, Mi.” Baru saja Mami akan beranjak menjemur handuk, Zee sudah berlari ke ruang tengah dan memencet tombol power. Adegan film kartun kesukaannya langsung terpampang di layar.

“Dek, nontonnya sebentar aja ya. Nanti kalau film Rubi udah selesai, kita tidur ya,” Mami mencoba menerapkan komunikasi produktif untuk membatasi waktu menonton televisi. Karena selama ini, Zee tidak mau menuruti permintaan Mami jika Mami berkata jangan lama-lama menonton tv.

“Iya,” ucap Zee cepat sambil memandang layar.

“Janji?” tanya Mami.

“Janji. Abis nonton kita tidur,” jawab Zee. Mami tersenyum sambil mengusap rambutnya. Oke, Zee. Mari kita lihat janjimu. Batin Mami.

“Dedek nontonnya dari jauh sini, Dek. Duduk sini.” Mami kembali mengingatkan Zee saat ia berdiri terlalu dekat dengan televisi. Hampir saja keceplosan berkata jangan dekat-dekat nontonnya, namun Mami langsung ingat materi katakan yang kita mau, bukan yang kita tidak mau. Jadi strategi diubah.

Tanpa menjawab, Zee berjalan mundur mendekati Mami dan langsung duduk di pangkuan Mami. Wah, jelas saja Mami terpukau. Jika diperhatikan, si kecil ini tidak memerhatikan ucapan Mami, namun rupanya ia mencerna kalimat yang Mami katakan. Hebatnya lagi, ia menuruti permintaan Mami. Sepertinya komunikasi produktif berhasil.

Selama satu jam lebih Zee menikmati film kartun kesukaannya, sambil sesekali minta diambilkan tempe goreng. Ia berlari keliling ruangan sambil sesekali menari mengikuti irama yang ia dengar, saat film yang ditontonnya menyuguhkan adegan menyanyi. Mami membiarkan Zee menonton saat harus menunaikan salat dhuhur.

“Mi, tidur lagi kita, Mi,” ucap Zee saat jarum jam menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit.

“Tidur lagi kita, Mi,” rengek Zee lagi karena belum mendapatkan tanggapan serius dari Mami. Biasanya Zee memang sangat jarang meminta tidur siang sendiri tanpa Mami bujuk terlebih dahulu.

“Dedek udah nontonnya. Tidur lagi kita.” Zee membawa botol air minumnya ke dalam kamar dan langsung berbaring di kasur. Mami tersenyum. Sepertinya ia mengingat janjinya sebelum Mami memberinya izin menonton televisi. Sungguh tidak diduga anak sekecil Zee bisa konsisten dan bertanggung jawab. Padahal jika diamati, ia terlihat cuek dan tidak memedulikan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Mami.

“Dedek udah pintar ya sekarang, mau tidur siang.” Pillow talk berlangsung sebentar sebelum si bocah terlelap. Deretan gigi mungilnya tampak dipamerkannya, menanggapi pujian Mami.

“Besok lagi kayak gitu ya nontonnya. Nonton sebentar aja, abis itu tidur siang,” lanjut Mami. Zee tidak menjawab dan hanya tersenyum. Meskipun begitu, Mami berharap ia memahami kalimat yang Mami ucapkan.

Di era digital dan modern seperti sekarang ini, pengaruh teknologi memang tidak bisa langsung kita musuhi begitu saja secara frontal. Mungkin dengan sedikit menyiasati, tetap memberikan kelonggaran yang disertai aturan yang tepat, merupakan solusi bagi orang tua yang tidak mau anak-anaknya terlena dengan kemajuan teknologi, namun tidak juga tergerus arus zaman karena begitu kuat menghindari teknologi. Semoga Zee seperti itu ya, Nak.

Pancar Matahari Family

Selasa, 14 November 2017

Sarapan Sehat Ala Zee



Day 13

Selasa, 14 November 2017

Pagi ini langit murung tiada henti. Gerimis membuat hawa dingin menyergap tulang dan persendian. Zee yang menyukai udara sejuk, jelas saja terlelap hingga hari beranjak siang. Hampir pukul sembilan ketika ia bangun dan mau meninggalkan kasur.

“Dedek mau makan sama Papi.” Melihat Papinya sedang sarapan sebelum berangkat ke kantor, ia pun langsung menghampiri meja makan. Si bocah tembam ini memang sangat manja sama Papinya. Bukan sekali dua kali ia suka minta makan sama Papi.

“Nasi Papi udah mau habis, Dek,” sahut Papi. Namun rupanya Zee tetap tidak mau tahu. Ia merengek. Papi memberinya dua suap nasi goreng sebelum akhirnya nasi di piring Papi benar-benar tak bersisa.

“Dedek mau lagi,” rengek Zee. Mami yang  sedang berada di dapur langsung menyahut.

“Dek, Mami buatkan bubur oat mau?” Hahaha. Apalah Mami ni, mana tahu Zee oat itu apa kan? Mungkin begitulah ungkapan hati Zee kalau ia sudah bisa mengungkapkannya. Namun dugaan Mami salah.

“Mau, Mi. Dedek mau bubur.” What? Tidak salah dengar? Rupanya melihat bungkus oat, si bocah antusias dan langsung mengekori Mami yang sudah berdiri di depan kompor.

“Ya udah, Dedek tunggu sebentar ya. Duduk dulu ya.” Sambil menyalakan kompor setelah menuang oat ke dalam panci dan menambahkan air, Mami berkata ramah kepada Zee.

Beberapa menit kemudian, bubur oat matang. Zee yang tidak sabar, langung merengek.

“Mau, Mi! Dedek mau!” Ia menarik kaki Mami. Alhasil, Mami dan Zee langsung duduk saja di lantai depan kompor.

“Dek, buburnya masih panas. Tunggu sebentar ya, biar agak dingin.” Mami menjelaskan kepada Zee.

“Mau! Dedek mau!” Nah, tantrum si bocah mulai kambuh.

“Ya udah, coba makan. Buka mulutnya ya.” Daripada ia merengek, Mami sengaja membiarkam Zee merasakan panasnya bubur. Dan benar saja. Baru saja sendok masuk ke dalam mulut, ia mengeluarkan suapan pertama buburnya kembali.

“Panas, Mi. Dedek nggak mau,” ucap Zee. Mami tersenyum.

“Kan tadi Mami sudah bilang kalau buburnya panas. Jadi kita tunggu sebentar, biar agak dingin. Dedek minum susu dulu mau?” Mau mengalihkan perhatian Zee. Kebetulan juga si bocah mau.

“Dedek makan sendiri.” Sembari menarik mangkok bubur di tangan Mami, Zee merengek.

“Ya udah, Dedek pegang ni. Pelan-pelan ya makannya,” ucap Mami memberi instruksi. Baru dua sendok ia makan, kepalanya menggeleng.

“Dedek nggak mau lagi. Nggak mau,” kata Zee.

“Kenapa?” tanya Mami.

“Nggak mau,” ulang Zee. Mami tersenyum.

“Dedek mau sehat nggak?” Mami memancing Zee. Ia terlihat berpikir cukup lama, ia mengangguk.

“Mau, Mi. Mau.” Zee menjawab dengan penuh semangat.

“Nah, kalau mau sehat, kita sarapan oat ya.” Mami menjelaskan dan mata Zee langsung kembali menatap mangkok bubur.

“Mau, Dedek mau.” Zee kembali manuruti perkataan Mami.

“Dedek mau makan sendiri?” tanya Mami.

“Nggak mau. Mami suap Dedek. Panas,” jawab Zee cepat.

Mami akhirnya menyuapkan sesendok demi sesendok bubur oat ke dalam mulut Zee. Tak terasa, lebih dari separuhnya habis ia makan.

“Anak Mami pintar ya, udah tahu makanan sehat.” Mami memuji Zee sambil mengusap punggungnya. Ia tersenyum lebar.

Besok lagi ya, Zee. Kita belajar sarapan sehat, yuk!

Pancar Matahari Family


Senin, 13 November 2017

Cerita Zenitha Part 2

Sabtu, 30 September 2017


Bagi kami, akhir pekan adalah waktu yang selalu ditunggu. Karena setiap seminggu sekali, entah itu hari Sabtu atau Minggu, kami mempunyai jadwal outing. Kegiatan ini penting buat Zee, karena ia berkesempatan belajar di luar lingkungan rumah. Sebenarnya mulai Jumat malam, Zee udah bilang mau main perosotan, dan tempat main perosotan terdekat dengan tempat tinggal kami adalah di UNRI. Tapi biasanya tiap akhir pekan, di sana ramai. Susah kalau mau main karena harus bergantian dengan anak-anak lain, dan seringnya Zee jadi tidak ingin main lagi. Akhirnya kami memutuskan mengajak Zee ke Transmart untuk naik wheel dan odong-odong mobil, wahana favoritnya kalau lagi main di sana.

“Nanti malam kita naik wheel ya, Dek.” Mami mulai sounding ke Zee sejak pagi. Zee tertawa dan bilang mau. Kalau mau mengajak Zee pergi jalan, Mami memang harus memberitahunya sejak pagi, agar ia mau tidur siang. Entah bagaimana caranya ia bisa memanajemen waktu tidurnya sendiri di usia sekecil ini, tapi faktanya setiap kami menjadwalkan akan pergi jalan sore atau malam hari, Zee pasti akan merengek minta tidur siang sekitar jam satu sampai jam dua siang. Dengan sendirinya ia akan bangun tepat jam tiga atau saat salat ashar. Tetapi jika kami tidak menjadwalkan kegiatan di luar rumah saat sore hari, ia baru akan tidur saat sudah jam tiga atau empat sore, dan mengoptimalkan waktu siang untuk bermain.

Setelah memberitahu Zee tentang rencana outing sore nanti, Mami menawarkan sarapan kepada Zee. Alih-alih mau makan nasi, ia memilih untuk makan nanas, salah satu buah favoritnya. Mami memotong kecil-kecil buah nanas dan meletakkannya di mangkok kecil tempat biasa Zee makan.

“Dedek makan sendiri.” Tepat saat Mami akan menyuapkan potongan pertama, Zee memaksa untuk makan sendiri. Oke. Mami harus mengalah dan rela membiarkan ia bereksplorasi dengan konsekuensi potongan makanan pasti akan berceceran di lantai. Akhirnya Mami membiarkan Zee makan di depan televisi. Ia menonton serial kartun Shaun the Sheep. Meskipun sebenarnya Mami ingin meminimalisir asupan tayangan televisi pada Zee, namun karena kondisi lingkungan yang belum memungkinkan, idealisme itu harus dikesampingkan.

“Ada berapa kambingnya, Mi?” Sambil makan nanas, ia bertanya.

“Coba hitung, ada berapa.” Mami memang belum mengajarkan berhitung kepada Zee, namun sedikit banyak ia sudah mengerti tentang konsep berhitung dan jumlah benda.

“Dua.” Dan dua adalah jawaban favoritnya saat Mami bertanya jumlah benda apapun yang ia lihat.

“Ah, yang benar? Emang iya dua?” Mami kembali bertanya. Zee terlihat bimbang sambil menatap Mami, sesekali kembali melihat layar televisi.

“Tiga.” Tiga adalah jawaban favorit kedua setelah dua. Dan kebetulan untuk pertanyaannya kali ini, jawabannya adalah tiga.

“Hitung dulu yang betul, Dek.” Mami menguji kembali.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.” Dan Mamipun tertawa. Zee memang belum paham jika disuruh menghitung. Di angka berapa ia harus berhenti, ia belum tahu. Dan Mami memang sengaja belum berniat membetulkan kesalahan yang ia buat. Pokoknya kalau disuruh menghitung, ia akan langsung menyebut angka satu sampai sepuluh, tapi selalu melewatkan angka enam. Setelah lima, lompat ke angka tujuh.

Setelah cukup lama, akhirnya nanas di dalam mangkoknya habis. Meskipun sempat dibuat berserakan di lantai, ia kembali mau memungutnya satu persatu setelah Mami bilang nanti Allah sayang kalau makanannya dikumpulkan lagi.

“Dedek main, Mi.” Zee membalik mangkok yang sudah kosong. Tangan kanannya masih memegang sendok. Lalu dengan senyum terkembang, ia memukul mangkok.

“Ha, bunyi!” Zee memekik. Ia kembali memukul mangkok seperti  sedang bermain alat musik. Permainan ini memang salah satu favoritnya. Biasanya ia akan menggunakan kaleng-kaleng bekas minuman untuk digunakan sebagai alat musik mainan.

Bagi kami, belajar itu sederhana. Tidak harus mengajarkan teori rumit secara formal. Lewat aktivitas makan pagi hari ini, Zee juga sudah mempelajari sesuatu yang tidak menyimpang dari kurikulum yang kami terapkan. Ia belajar makan sendiri, termasuk ke dalam belajar kemandirian dan life skill. Ia juga belajar self esteem, tentang panca indera. Karena nanas yang dimakannya baru dikeluarkan dari dalam lemari es, ia beberapa kali bilang kalau buah tersebut dingin. Zee juga belajar art dan pretend play dengan menjadikan mangkok kosong sebagai alat musik mainan. Ia bahkan secara tidak langsung sudah mempelajari materi math/reasoning saat menanyakan tentang jumlah kambing dalam film yang ia tonton. Mengetahui nama hewan dan buah juga merupakan salah satu pembelajaran materi natural science. Menghabiskan makanan serta tidak membiarkan makanan berserakan di lantai juga salah satu pembelajaran tentang konsep bersyukur kepada Allah. Ia belajar agama, belajar mencintai Allah.

Minggu, 12 November 2017

Sandal Baba



Day 12

Senin, 13 November 2017

Pagi ini Zee bangun pukul 04.00, karena semalam ia tidur sebelum jam dua belas. Mami pikir ia mau diajak tidur lagi hingga usai salat subuh. Rupanya dugaan Mami salah. Setelah si bocah sibuk bermain botol air minum dengan menumpahkan isinya ke kasur, ia pun meminta Mami menyalakan lampu.

“Mi, hidupkan lampu, Mi.” Zee meminta dengan sedikit rengekan.

“Emang Dedek mau ngapain?” tanya Mami.

“Dedek mau baca. Mami ambilkan buku.” Zee menjawab dengan mata berbinar.

Akhirnya Mami menuruti keinginannya, alih-alih berkata jangan. Sembari menunggu Mami salat, Zee sibuk membuka-buka buku di atas kasur. Hingga tiba-tiba ia berkata.

“Makan nasi kita, Mi. Masak kita.” Dengan cengiran kecil, Zee menatap Mami.

Mami menuruti kemauan Zee. Dengan sekali membujuk, Mami berhasil mengajak Zee ikut ke dapur. Ia meninggalkan buku-bukunya. Selesai masak, Mami menyuapi Zee sarapan. Sambil sesekali si aktif itu bermain dengan lego dan peralatan masak-masakan. Setelah selesai, Mami membiarkan Zee bermain sendiri karena akan menyapu halaman dan dalam rumah.

“Mi, Dedek ambil sepatu, Mi.” Zee berjalan ke arah Mami sambil menenteng dua pasang sepatu boot miliknya. Dengan cekatan, ia menyusun sepatu-sepatu yang dibawanya ke atas rak tv. Lalu Zee kembali berlari.

“Mi, Dedek pakai sandal Baba.” Baba adalah panggilan Zee untuk Abang sepupunya. Sepasang sandal merah bertali sudah melekat di kakinya.

“Dek, kalau mau pakai sandal itu di luar rumah.” Mami menjelaskan kepada Zee. Ia hanya memandang Mami.

“Bukan dipakai di dalam rumah ya. Nanti kotor.” Mami kembali melanjutkan ucapannya.

“Lepas sandal Baba itu ya.” Dengan halus Mami memintanya melepas sandal Babanya. Namun bukannya diletakkan kembali ke rak sepatu, malah dibiarkan begitu saja di ruang tengah.

“Dek, sini.” Mami memanggil Zee yang tengah asyik membongkar crayon. Meskipun masih kecil, ia harus belajar bertanggung jawab.

“Tadi siapa yang ambil sandal Baba ni?” tanya Mami.

“Dedek, Mi,” jawab Zee cepat.

“Terus kenapa nggak dibalikin lagi?” Mami memancingnya agar belajar mengungkapkan perasaan.

“Di mana letak sandal, Dek?” Karena Zee hanya memandang Mami bengong, Mami kembali melanjutkan pertanyaan.

“Rak sepatu,” jawab Zee lagi.

“Nah, kalau gitu, sekarang Dedek susun lagi sandal Baba di rak sepatu ya.” Mami berjongkok di depan Zee sambil memberikan kode dengan mata agar ia mengambil sandal yang berserak di lantai ruang tengah.

Zee berlari sambil membawa sandal Baba. Mami mengikuti di belakang, dan melihatnya dari pintu. Rupanya meskipun tidak menjawab, si bocah langsung menyusun sandal dengan rapi, tepat di tempat semula.

“Udah, Mi!” pekik Zee sambil berjalan menghampiri Mami.

“Anak pintar udah pandai susun sandal sendiri ya sekarang,” puji Mami, membuat Zee meringis kegirangan. Ia pun melanjutkan aktivitas bermain, sementara Mami sibuk dengan urusan bersih-bersih rumah.

Mungkin begitulah anak-anak. Kadangkala ia terlihat tidak memahami apa yang orang tuanya bicarakan, namun nyatanya, otak cerdasnya sebenarnya menangkap maksud yang disampaikan oleh mereka. Orang tua hanya perlu bersabar, berkali-kali menjelaskan dengan kalimat sederhana agar mudah dimengerti. Tetap semangat ya, Zee. Besok kita lanjutkan lagi penerapan komunikasi produktifnya.

Pancar Matahari Family

Let's Play The Music



Day 11

Minggu, 12 November 2017

Biasanya, jika hari Minggu tiba, Zee akan menghabiskan Minggu pagi dengan berenang. Namun karena ia bangun sudah hampir pukul sembilan, maka kami meniadakan jadwal berenang. Mami yang saat itu sedang masak, membiarkan Zee menikmati akhir pekan dengan Papi. Ia menggelar tempat duduk, mengambil drumband, lalu minta kepada Papi untuk diambilkan kaleng soya dan sarang burung.

“Pi, Dedek main, Pi. Dedek main!” Seru Zee sambil mengangkat sebelah tangan dan stik drumband.

“Dedek nyanyi apa?” tanya Papi.

“Selamat, selamat, selamat pengantin baru. Kompang dipalu,” ucap Zee dengan irama teratur. Rupanya ia tengah menirukan lagu yang dinyanyikan Upin Ipin, seperti dalam video yang suka ia lihat di youtube.

“Pukul lagi drumband-nya, Dek. Sama kaleng soya-nya juga,” kata Mami menimpali. Tanpa diduga, dengan sebelah tangan, Zee memulai aksinya. Dengan feeling-nya, ia mulai memukul drumband, lalu satu persatu kaleng juga ia pukul menggunakan stik. Ah, anak sekecil ini sudah punya feel merasakan nada.

“Yeay! Dedek keren, pandai main musik ya,” puji Mami setelah serempak bertepuk tangan bersama Papi. Zee meringis, tersenyum lebar memamerkan gigi mungilnya.

Mami melanjutkan aktivitas dapur, sementara Papi sibuk dengan crafting-nya. Zee masih asyik bermain sendiri. Setelah selesai, Mami mengajak Zee mandi.

“Dek, kita mandi yuk,” ajak Mami. Seperti biasa, Zee berlari menghindari Mami.

“Nggak mau! Dedek main aja,” kilah Zee. Mami harus membujuk lagi.

“Nanti kita main lagi sepuasnya setelah mandi. Oke?” Zee menatap Mami skeptis. Mami balas menatapnya sambil tersenyum meyakinkan. Setelah melihat Zee melunak, Mami kembali ke mode pembujukan.

“Yuk Mami bantu bereskan mainannya ya. Abis itu kita mandi, baru main lagi.” Dengan lembut Mami menuntun Zee untuk mengajaknya membereskan mainan yang berserak.

“Mi! Udah, Mi. Dedek udah bereskan mainan.” Zee memekik. Mami langsung bertepuk tangan.

“Susun mainan. Susun mainan.” Tanpa menunggu komando dari Mami, Zee sudah mengangkat drumband beserta botol minumnya ke arah kamar. Mami menyusul.

“Anak Mami pintar ya, udah pandai susun mainan sendiri.” Mami mengacungkan jempol sambil mengusap kepala Zee.

Ah, akhirnya selesai juga proses bujuk membujuk masalah mandi. Zee yang asyik dengan musik ala-ala, enggan dipisahkan dengan kaleng-kaleng bekasnya. 

Semoga semakin besar nanti, dirimu bisa mengerti sendiri bahwa mandi itu baik untuk kesehatan ya, Nak.

Pancar Matahari Family

Sabtu, 11 November 2017

Kotak Papi


Day 10

Sabtu, 11 November 2017

Hari kesepuluh di tantangan level 1 kelas Bunda Sayang IIP ini semangat Mami dan Zee masih membara. Mudah-mudahan bisa konsisten menerapkan komunikasi produktif hingga masa tantangan selesai.

Pagi ini Mami menyelesaikan urusan dapur sebelum Zee bangun. Jika biasanya hanya memasak untuk sarapan saja, kali ini Mami memasak menu makan siang sekaligus. Pukul delapan lewat si bocah bangun. Seperti biasa, ia langsung minta buku gambar dan crayon. Mami biarkan Zee bermain dengan warna sebelum mandi.

Aktivitas mandi pagi hari ini tidak terlalu banyak drama. Dengan sendirinya Zee mau menggosok gigi serta tidak perlu waktu lama untuk membujuknya agar segera masuk ke kamar mandi. Mungkin karena sebelumnya ia sudah Mami berikan waktu bermain sebentar. Selepas mandi, bahkan saat Zee belum memakai baju, ia sudah sibuk meraih mainan di dalam kotak, dan langsung membongkarnya.

“Mi, Dedek pakai sepatu.” Setelah selesai memakai baju, Zee berlari ke arah ruangan samping untuk mengambil sepatu boot di rak sepatu. Si kecil aktif ini memang terlihat menyukai fashion. Sesekali ia akan bergaya mengenakan sepatu serta topi pantai warna merah muda favoritnya.

“Dedek mau ke mana?” tanya Mami.

“Dedek mau pergi jalan.” Sambil kembali berlari setelah Mami memakaikan sepatu, Zee berteriak menyuarakan keinginannya. Mami menggelengkan kepala. Zee dan pergi jalan memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

“Ini siang, Dek. Panas. Kalau panas kita di rumah aja biar nggak sakit.” Mami mencoba menjelaskan secara simple. Ia memandang Mami, lalu kembali berlari.

“Dedek main ajalah.” Entah karena ia mengerti perkataan Mami sebelumnya atau tidak, tetapi kata-kata jalan sudah tidak ia dengungkan lagi.

“Dedek ambil kotak, Mi.” Mami langsung berjalan cepat menghampiri Zee. Eh, rupanya krucil ini sudah meraih prototype kotak desain produk karya Papinya. Hampir saja Mami terlepas dan mengeluarkan kata jangan. Untung saja seketika langsung teringat materi yang sedang diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Mami berjalan mendekati Zee.

“Dek, itu kotak Papi.” Mami berkata ramah dan memberikan jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan.

“Kotak itu buat kerja ya, Dek. Bukan buat main.” Mami melanjutkan. Zee menghentikan gerakan tangannya.

“Dedek mau main kotak? Yuk kita ambil kotak di tempat mainan Dedek.” Zee memandang Mami sangsi. Sepertinya ia tahu jika Mami hanya berusaha mengalihkan perhatiannya.

“Dedek mau buat kotak kayak punya Papi?” Mami memancingnya. Binar mata Zee menjawab pertanyaan Mami.

“Mau!” Pekik Zee. Mami tersenyum sambil mengelus punggung bocah dua tahun itu.

“Nanti kalau Dedek udah umur tiga tahun, kita buat kotak kayak punya Papi ya. Mau?” Bukannya Mami tak mau mengajak Zee crafting saat ini, namun melihat uji coba yang beberapa kali kami lakukan, sepertinya masanya belum tepat. Apalagi yang melibatkan gunting dan benda tajam lainnya, masih harus dijauhkan dari jangkauan Zee. Ajaibnya, si bocah mengerti.

“Mau. Dedek mau buat kotak umur tiga tahun.” Mami mengangguk sambil tetap tersenyum.

“Iya, nanti kita buat ya. Sekarang umur Dedek berapa?” Mami bertanya. Zee terlihat berpikir.

“Umur Dedek sekarang dua ta ...,” Mami menggantung ucapan.

“Dua tahun.” Zee menimpali. Mami tepuk tangan, mengapresiasi kepintaran Zee.

“Ya udah, sekarang kita main yang lain yuk. Kotak Papi buat apa tadi, Dek?” Mami sengaja mengingatkannya, berharap Zee membiarkan kotak itu aman berada di atas meja, tidak ia jamah lagi.

“Bukan buat main. Itu kotak Papi. Buat kerja,” ucap Zee riang sambil tersenyum. Mami tersenyum sambil kembali bertepuk tangan. Kami pun bermain dengan mainan lainnya. Zee memilih bermain lompat-lompat sambil sesekali belajar bergelantungan di teralis jendela.

Kadangkala, kita sebagai orang tua, terlalu dini menyimpulkan jika seorang anak kecil tidak mungkin memahami penjelasan yang kita jabarkan. Namun rupanya, penilaian kita tidak selalu benar. Yang harus kita lakukan adalah belajar menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi kalimat sederhana yang mudah diterima seorang anak. Meskipun belum sepenuhnya mengerti, akantetapi otak anak pasti merekam penjelasan kita. Berdasar hasil observasi tersebut, sepertinya Mami memang harus lebih banyak belajar lagi. Semangat!

Pancar Matahari Family

Mau Baca Buku? Install iPusnas Yuk!

Selasa, 13 November 2018 Day 1 Membaca buku merupakan salah satu aktivitas yang patut dibiasakan oleh orang tua terhadap anak-a...