Day 8
Kamis, 9 November 2017
Waktu baru menunjukkan pukul 06.15 saat Zee memekik dan menangis di tengah tidur. Karena tengah mencuci baju, maka Mami memilih untuk membiarkan Zee puas merengek sampai akhirnya bangun sendiri. Selesai mencuci, Mami mengajak Zee keluar kamar. Sementara Mami merapikan tempat tidur, Zee bermain dengan Papi di depan rumah.
“Mi, tengok, Mi! Kucing itu, ada kucing.” Begitu selesai membereskan kamar, Mami bergabung dengan Zee dan Papi yang tengah asyik menikmati roti dan kopi susu.
“Mana kucingnya?” Mami bertanya.
“Itu! Itu!” Zee berlari menuju pintu pagar yang terbuka separuh.
“Dek, pakai sandalnya dulu. Nanti kaki Dedek kotor.” Mami menjelaskan dengan perlahan karena melihat Zee langsung berlari tanpa mengenakan sandal. Ia tertawa hingga menampakkan deretan gigi mungilnya, lalu berbalik dan mengambil salah satu sandal di rak sepatu.
“Ada berapa tu kucingnya, Pi?” Zee bertanya kepada Papi. Matanya mengawasi anak kucing beserta induknya sedang bersembunyi di bawah pintu pagar tetangga depan rumah.
“Ada dua.” Papi menjawab.
“Ada tiga,” ucap Zee cukup keras. Lho kok? Mami yang mendengar dua jawaban berbeda dari si anak dan Bapak itu jelas bingung.
“Eh iya ada tiga. Papi nggak lihat yang kecil itu sembunyi.” Rupanya Papi yang salah lihat.
“Pintar Dedek ya, udah bisa menghitung kucing itu.” Mami memuji Zee.
Rupanya si bocah penasaran dengan kucing kecil yang kebetulan tengah memandangnya. Papi mengizinkan Zee keluar pagar dan mendekat ke arah kucing berwarna kuning.
“Ih, takut, Dedek.” Zee pasti begitu. Ia paling sering takut-takut berani jika berhadapan dengan kucing. Setelah dipanggilnya kucing dengan gerakan tangan, lalu si bocah kecil itu berlari memeluk Papi.
“Nggak apa-apa, Dek. Dedek kan sudah besar, berani sama kucing. Yuk tengok kucingnya yuk.” Mami mengajak Zee mendekat ke arah anak kucing.
“Meow, meow, meow.” Zee mengulurkan tangan ke arah si anak kucing sembari berjalan mendekat. Ia berjongkok hendak mengelus kepala kucing imut yang tengah meringkuk di bawah pintu pagar berwarna hitam. Tetapi kucing berbulu lembut itu malah berlari ke arah dalam.
“Mana kucingnya, Mi? Mana kucingnya, Pi?” Zee hendak masuk ke dalam halaman rumah orang.
“Kucingnya masuk ke dalam, Dek.” Mami menjelaskan singkat. Zee terlihat kecewa.
“Dedek hebat ya, berani dekat kucing.” Mami langsung memberinya pujian yang membuatnya kembali tersenyum lebar.
Ah, meskipun Mami kurang menyukai hewan peliharaan masuk di dalam rumah, tetapi sebagai orang tua, tetap harus memupuk keberanian si bocah kan? Dan ternyata, melalui komunikasi yang produktif, mengubah kata takut menjadi berani, membuat kepercayaan diri Zee meningkat. Semangat ya, Zee. Kapan-kapan kalau ada kesempatan kita lihat hewan-hewan lainnya.
“Ada berapa tu kucingnya, Pi?” Zee bertanya kepada Papi. Matanya mengawasi anak kucing beserta induknya sedang bersembunyi di bawah pintu pagar tetangga depan rumah.
“Ada dua.” Papi menjawab.
“Ada tiga,” ucap Zee cukup keras. Lho kok? Mami yang mendengar dua jawaban berbeda dari si anak dan Bapak itu jelas bingung.
“Eh iya ada tiga. Papi nggak lihat yang kecil itu sembunyi.” Rupanya Papi yang salah lihat.
“Pintar Dedek ya, udah bisa menghitung kucing itu.” Mami memuji Zee.
Rupanya si bocah penasaran dengan kucing kecil yang kebetulan tengah memandangnya. Papi mengizinkan Zee keluar pagar dan mendekat ke arah kucing berwarna kuning.
“Ih, takut, Dedek.” Zee pasti begitu. Ia paling sering takut-takut berani jika berhadapan dengan kucing. Setelah dipanggilnya kucing dengan gerakan tangan, lalu si bocah kecil itu berlari memeluk Papi.
“Nggak apa-apa, Dek. Dedek kan sudah besar, berani sama kucing. Yuk tengok kucingnya yuk.” Mami mengajak Zee mendekat ke arah anak kucing.
“Meow, meow, meow.” Zee mengulurkan tangan ke arah si anak kucing sembari berjalan mendekat. Ia berjongkok hendak mengelus kepala kucing imut yang tengah meringkuk di bawah pintu pagar berwarna hitam. Tetapi kucing berbulu lembut itu malah berlari ke arah dalam.
“Mana kucingnya, Mi? Mana kucingnya, Pi?” Zee hendak masuk ke dalam halaman rumah orang.
“Kucingnya masuk ke dalam, Dek.” Mami menjelaskan singkat. Zee terlihat kecewa.
“Dedek hebat ya, berani dekat kucing.” Mami langsung memberinya pujian yang membuatnya kembali tersenyum lebar.
Ah, meskipun Mami kurang menyukai hewan peliharaan masuk di dalam rumah, tetapi sebagai orang tua, tetap harus memupuk keberanian si bocah kan? Dan ternyata, melalui komunikasi yang produktif, mengubah kata takut menjadi berani, membuat kepercayaan diri Zee meningkat. Semangat ya, Zee. Kapan-kapan kalau ada kesempatan kita lihat hewan-hewan lainnya.
Pancar Matahari Family
Tidak ada komentar:
Posting Komentar