Day 5
Senin, 6 November 2017
Pagi tadi seperti biasa, mengajak Zee mandi dipenuhi drama. Si bocah terus mengelak setiap Mami mengejarnya. Hampir setengah jam membujuk, akhirnya Mami berhasil juga membawa Zee mandi. Namun ternyata, drama berlanjut setelah ia selesai mandi dan sedang Mami pakaikan baju.
“Dedek mau buku baru sama buku Apel.” Buku baru, adalah sebutan Zee untuk Ensiklopedia Anak-Anak di Dunia, gift dari penerbit BIP beberapa waktu lalu.
“Pakai baju dulu, Dek. Abis itu baru kita baca buku.” Mami membujuknya dengan nada rendah sambil tersenyum. Namun ternyata gagal total. Si bocah malah merengek dan memekik. Akhirnya Mami yang mengalah, mengikuti kemauan Zee. Si kecil nan aktif itu pun membuka-buka buku sambil Mami pakaikan baju.
“Dek, Mami mau masak ya di belakang. Dedek ikut?” Bibirnya mencebik begitu mendengar Mami hendak meninggalkannya.
“Mami duduk sini aja.” Sambil merengek, Zee menatap Mami. Sebentar lagi pasti nangis. Batin Mami.
“Mami masak dulu sebentar ya.” Mami memberitahu Zee, dan si krucil itu tetap menatap Mami dengan mata berkaca-kaca, bersiap menumpahkan air mata.
Mami menunda untuk memasak, lalu duduk di sebelah Zee yang tengah tengkurap di kasur sambil membuka buku. Sepertinya memang harus dicoba memberinya pilihan lagi.
“Dedek mau Mami bacakan buku Apel aja abis itu Mami masak, atau Dedek ikut Mami masak sebentar abis itu kita baca buku Apel, buku baru, sama buku Dinar. Sambil tulis juga. Mau?” Hahaha. Biarlah si bocah bingung dengan kalimat panjang nan lebar yang Mami ucapkan.
Ternyata, dugaan Mami salah lho. Meskipun menatap Mami sangat lama seperti tidak mengerti ucapan Mami, nyatanya saat itu Zee sedang berpikir. Dan hasilnya, ia bisa menyampaikan pilihannya, meskipun dengan bahasa sederhana.
“Dedek ikut Mami. Mami bawakan buku baru.” Mami tercengang sesaat. Lalu tersenyum dan membantu Zee membawakan bukunya yang cukup berat.
Di dapur, jangan harap Zee mau diam sambil membaca buku. Ia justru bergerak lebih aktif dibandingkan Mami. Mulai dari membuka-buka rak piring dan mengeluarkan isinya, membuka kulkas dengan harapan bisa mengambil susu uht yang letaknya di rak paling tinggi, hingga puncaknya hendak masuk ke dalam tempat mencuci piring sekaligus menyimpan alat-alat dapur.
“Wajan itu, Mi. Mami ambilkan wajan itu.” Sambil menunjuk wajan kecil, Zee memohon.
“Buat apa wajan itu? Dedek kan ada wajan sendiri.” Maksud Mami wajan mainan berbahan plastik yang ia punyai.
“Nggak mau! Dedek mau wajan itu!” Zee mulai tantrum. Mami mencoba mengabaikannya dan memilih melanjutkan aktivitas dapur.
Mami mengeluarkan batu tumbuk untuk membuat sambal. Di dalamnya sudah terisi cabai, bawang, dan terasi. Saat Mami tinggal ke dalam mengambil garam, gula, serta jeruk nipis, rupa-rupanya Zee sudah beraksi.
“Mi! Tengok, Mi! Dedek pintar. Dedek masak.” Pekik Zee dengan riang. Tangannya menggenggam anak batu tumbuk sambil tersenyum jahil. Panik, Mami langsung datang menghampirinya.
“Zee, itu cabai tu, pedas tu.” Tak dihiraukannya ucapan Mami. Zee tetap mencoba mengangkat anak batu tumbuk dengan susah payah.
“Dedek nggak bisa, Mi. Nggak bisa.” Zee mengeluh disertai rengekan. Mami tersenyum dan mengusap kepalanya.
“Bisa, Dedek bisa kok. Coba.” Mami ikut memegang anak batu tumbuk. Zee mengangkatnya kembali.
“Angkatnya pelan-pelan, Dek.” Mami memberi instruksi sederhana. Zee mengikuti gerakan Mami, hingga akhirnya Mami melepas tangan dan membiarkan Zee menghasilkan bunyi berdenting, gesekan anak dan batu tumbuk.
“Horay! Dedek bisa! Dedek masak.” Setelah beberapa kali berhasil menumbuk bahan membuat sambal terasi di dalam batu tumbuk, Zee berteriak kegirangan.
Ya, ya, ya. Anak Mami memang hebat. Dan peran komunikasi produktif dalam menaikkan kepercayaan diri serta mendongkrak keberaniannya jelas sangat signifikan. Besok kita eksplorasi lagi ya, Zee.
Kakak, Abang, Om, Tante, Kakek, Nenek, Adik, mau sambal terasi buatan Zee? Sedap lho. Hihihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar