Ini adalah catatan keseharian Zenitha, yang kami tulis seminggu pertama ketika ia memulai masa homeschooling dengan menggunakan kurikulum sederhana yang kami susun. Simak yuk.
****
Tepat 28 September kemarin, Zee genap berusia dua tahun. Sebagai orang tua, momen ini sangat kami tunggu-tunggu, karena berdasarkan family plan yang telah kami rancang, usia dua tahun adalah titik start untuk melakukan observasi terhadap keseharian Zee dengan panduan kurikulum yang telah kami susun.
Sebagai keluarga muda yang baru mencoba menerapkan konsep homeschooling, kami banyak melakukan brainstorming terkait konsep, metode, serta kurikulum apa yang nantinya akan kami terapkan buat Zee. Namun ternyata, semua materi yang kami baca, nyatanya justru membuat kami kebingungan untuk memilih. Sehingga akhirnya kami memutuskan untuk menyusun kurikulum personal berdasarkan apa yang menurut kami akan Zee butuhkan ke depannya.
Alih-alih memusingkan tentang teori montessori, charlotte mason, dan lain sebagainya, kami justru menyusun sebuah kurikulum sederhana dengan pertimbangan dua hal. Pertimbangan pertama bagi kami adalah mudah dan logis untuk diterapkan serta bersifat fleksibel sehingga tidak membatasi ruang gerak Zee dalam melakukan eksplorasi. Yang kedua tentunya tidak melanggar syariat agama.
Kurikulum yang telah kami susun meliputi agama (tauhid, aqidah akhlak, alqur'an dan tafsir, sirah, serta tarikh), self esteem (identitas diri, anggota tubuh, dan panca indera), math/ reasoning (mengenal bilangan, paham konsep jumlah, paham konsep bentuk dan ukuran), physical skill (balance and coordination, other skill), literature and language (listening, reading, writing, speaking), natural science (mengenal ekosistem, mengenal alam semesta, menjaga kebersihan dan kesehatan, eksplorasi dan percobaan), technology (alat komunikasi dan transportasi), engineering (mengenal geometri sederhana, mengenal engineering tools, macam dan fungsi bangunan), art (basic design, menggambar dan mewarnai bebas, gerak mengikuti irama, pretend play, mengenal musik) dan yang terakhir social and emotional (mempunyai konsep diri yang positif, mampu bermain di tempat dan dengan anak yang berbeda, mampu bermain dengan teman berbagai macam usia, menjadi anggota keluarga yang aktif, mengenal serta mengontrol perasaan dan emosi).
Untuk standar kompetensi, kompetensi dasar, serta indikator, kami sesuaikan dengan usia Zee. Kurikulum ini berlaku untuk satu tahun. Jadi saat usia Zee genap tiga tahun nanti, kami akan melakukan evaluasi terhadap kurikulum tersebut dengan melihat tingkat keberhasilan serta kendala apa saja yang kami temui selama satu tahun masa penerapan.
Selanjutnya, kurikulum inilah yang kami jadikan sebagai acuan untuk melakukan observasi harian dalam setiap aktivitas yang Zee lakukan. Penerapannya tidak kaku seperti sistem di sekolah, tetapi dibiarkan saja mengalir. Karena pada dasarnya kami lebih nyaman menerapkan sistem unschooling terhadap Zee saat ini.
Hal penting yang harus kami lakukan untuk menunjang penerapan kurikulum yang telah kami susun adalah melakukan dokumentasi setiap hari, baik itu berupa foto, video, serta catatan seputar aktivitas yang Zee lakukan. Dokumentasi ini sangat penting bagi kami karena nantinya kami berencana tidak memasukkan Zee ke dalam sekolah formal, sehingga kehadiran file hasil dokumentasi sejak usia pra sekolah akan sangat memudahkan kami untuk menyusun kurikulum saat Zee memasuki masa sekolah. Dokumentasi berupa foto maupun video bisa dilakukan oleh papi maupun mami, sedangkan khusus untuk catatan harian akan dikerjakan oleh mami yang memang bertanggung jawab penuh untuk menemani Zee beraktivitas setiap hari.
****
Jumat, 29 September 2017
Ini hari pertama mami melakukan observasi terhadap aktivitas yang Zee lakukan. Sebenarnya, sebelum Zee berusia dua tahun mami juga sudah melakukan observasi, namun bedanya kali ini mami akan mengamati dengan lebih teliti serta mencatat hal apa saja yang sekiranya perlu didokumentasikan.
Penerapan kurikulum yang telah disusun sebelumnya tidak bersifat menjejalkan materi serta teori. Konsep yang mami terapkan adalah bermain sambil belajar.
Seperti siang ini, jam baru menunjukkan pukul sebelas saat Zee yang semula mau bermain alfabet dan lego seorang diri, tiba-tiba merengek minta bermain congklak. Untuk permainan satu ini, mami masih harus melakukan pengawasan penuh terhadap Zee karena biji-bijian congklak yang sangat kecil rentan dimasukkan ke dalam mulut dan hidung. Meskipun usianya sudah dua tahun, Zee memang masih sering memasukkan benda-benda kecil apapun yang ia lihat dan temukan ke dalam mulut. Biasanya hal itu ia lakukan untuk belajar mengenal tekstur, rasa, dan lain sebagainya. Ia akan memekik dan meneriakkan kata pedas jika tanpa sengaja memasukkan potongan cabai yang jatuh di dapur ke dalam mulut. Tutul spidol, kerikil, ataupun benda serupa lain yang ia gigit akan membuatnya berkata bahwa tekstur benda itu keras.
Setelah selesai dengan urusan dapur, mami menuruti keinginan Zee untuk main congklak. Begitu papan congklak diambil, iapun tertawa kegirangan, apalagi saat melihat biji-biji bermacam warna dalam genggaman mami, matanya langsung berbinar. Mami dan Zee duduk di lantai. Mami memberikan satu toples kecil berisi biji congklak. Dengan bersusah payah Zee berusaha membuka. Dan begitu terbuka, imajinasinya langsung bermain.
“Zee, mainnya yang bagus, diisi lubang-lubangnya ni.” Mami mengajak Zee bermain.
“Mandi bola!” Bukannya menuruti perkataan mami, Zee justru menggerakkan tangan ke atas dan langsung menuang biji congklak dalam toples ke atas kepalanya.
“Mi, ambil sendok sama garpu.” Sepertinya pretend play akan dimulai.
Mami membiarkan Zee mengambil sendok dan garpu yang disusun bersama dengan mainan lainnya di dalam kamar, seperti yang biasa ia lakukan sejak usianya satu tahun lebih. Begitu sendok dan garpu sudah berada dalam genggaman, tangan mungilnya bergerak lincah menyendok biji congklak dari dalam toples dan memasukkannya ke dalam lubang-lubang kecil yang ada di papan congklak.
“Masak apa Dedek, Mi?” Kali ini Zee berimajinasi sedang bermain masak-masakan. Dan mami harus berpura-pura mengikuti.
“Masak goreng. Dedek goreng apa?” Mami mengikuti gaya bahasa Zee yang belum sepenuhnya sempurna strukturnya.
“Goreng nasi.” Jawabnya spontan. Mungkin karena keseringan melihat mami masak nasi goreng di dapur.
“Warna apa ini, Mi?” Bukan Zee namanya kalau tidak cepat mengalihkan topik pembahasan. Tangan kanannya memegang biji congklak berwarna hijau.
“Warna apa tu, Dek?” Mami memang tidak selalu menjawab pertanyaan Zee, terlebih jika dirasa Zee sudah mengetahui jawabannya. Jadi mami memilih untuk melemparkan pertanyaan kepada Zee kembali.
“Green.” Zee menjawab setelah berpikir beberapa saat.
“Kalau yang ini?” Mami menunjuk satu buah biji congklak berwarna kuning.
“Kuning.” Dengan cepat Zee menyahut.
“Ini nih?” Zee melihat biji congklak warna merah yang ada di dekat kakinya.
“Red. Pintar Dedek kan, Mi?” Dan Zee pun tersenyum lebar sampai bertepuk tangan.
Mami dan papi memang selalu membiasakan memuji Zee jika ia berhasil melakukan sesuatu yang menakjubkan. Dari bermain congklak ini Zee belajar banyak hal. Mulai dari social dan emotional, yaitu ia harus membiasakan diri menahan emosi karena harus bersabar menunggu mami selesai masak dan menemaninya bermain. Ia juga belajar pretend play, bermain peran, seolah-olah sedang masak. Materi art juga sudah ia dapatkan, yaitu saat ia belajar mengenali warna.
“Mi, serak Mi, serak.” Ah, mami lupa jika Zee tidak selalu memainkan permainan sesuai fungsinya. Ia lebih sering berimajinasi sendiri. Rupanya setelah puas bertanya tentang warna, ia kembali menaburkan biji congklak ke atas kepala. Mandi bola katanya.
“Ayo Zee, kumpulkan.” Mami memberi komando karena sudah waktunya salat dan makan siang.
“Nanti Allah sayang.” Sambil memunguti biji-biji congklak yang sudah berserakan kemana-mana Zee berujar lirih.
“Nah tu. Makanya jadi anak?” Mami menggantung ucapannya sambil membantu Zee memungut biji congklak yang melesat jauh ke bawah kolong meja.
“Baik. Nanti masuk surga. Sama Khadijah. Mau, mau.” Ya, begitulah Zee. Ia suka membaca buku cerita bergambar tentang Khadijah. Dan begitu mendengar kata surga, ia pasti akan bilang masuk surga seperti Khadijah.
Hari ini permainan congklak Zee ditutup dengan pelajaran agama. Tauhid dan aqidah. Mengenalkan Allah, membiasakan ia untuk mencintai Allah dan segala sesuatu yang baik di dalam agama. Karena pada masa 0-6 tahun pertama, rasa cinta terhadap Sang Pencipta adalah unsur terpenting yang harus ditanamkan kepada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar